BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama
terjadinya gagal ginjal tahap akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak.
Terminologi glomerulonefritis yang dipakai disini adalah untuk menunjukkan
bahwa kelainan yang pertama dan utama terjadi pada glomerulus, bukan pada
struktur ginjal yang lain.
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan
ginjal bilateral. Peradangan dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi
sebagai proteinuria dan atau hematuria. Meskipun lesi utama pada gromelurus,
tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan mengalami kerusakan, sehingga terjadi
gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula digambarkan oleh Richard Bright pada
tahun 1827 sekarang diketahui merupakan kumpulan banyak penyakit dengan
berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya menimbulkan beberapa bentuk
glomerulonefritis.
Indonesia pada tahun 1995, melaporkan adanya 170
pasien yang dirawat di rumah sakit pendidikan dalam 12 bulan. Pasien terbanyak
dirawat di Surabaya (26,5%), kemudian disusul berturut-turut di Jakarta
(24,7%), Bandung (17,6%), dan Palembang (8,2%). Pasien laki-laki dan perempuan
berbanding 2 : 1 dan terbanyak pada anak usia antara 6-8 tahun (40,6%).
Gejala glomerulonefritis bisa
berlangsung secara mendadak (akut) atau secara menahun (kronis) seringkali
tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. Gejalanya dapat berupa
mual-mual, kurang darah (anemia), atau hipertensi. Gejala umum berupa sembab
kelopak mata, kencing sedikit, dan berwarna merah, biasanya disertai
hipertensi. Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi
kronis, dan 10% berakibat fatal (Ardiyanti Tunru, 2012).
B.
Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa
mampu memahami gangguan sistem perkemihan “Glomerulonefritis”.
2. Tujuan Khusus
a. Memahami
definisi Glomerulonefritis Akut, Kronis, dan
Progresif.
b. Mengetahui
etiologi terjadinya Glomerulonefritis Akut,
Kronis, dan Progresif.
c. Mengetahui
manifestasi klinis dari Glomerulonefritis Akut,
Kronis, dan Progresif.
d. Mengetahui
patofisiologi terjadinya Glomerulonefritis Akut,
Kronis, dan Progresif.
e. Mengetahui
komplikasi dari Glomerulonefritis Akut,
Kronis, dan Progresif.
f. Mengetahui
pemeriksaan diagnostik untuk Glomerulonefritis Akut,
Kronis, dan Progresif.
g. Mengidentifikasi
penatalaksanaan klien dengan Glomerulonefritis Akut,
Kronis, dan Progresif.
h. Merumuskan
asuhan keperawatan pada klien dengan Glomerulonefritis meliputi
pengkajian, diagnosis keperawatan, dan intervensi keperawatan.
BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Glomerulonefritis Akut
a. Definisi
Glomerulonefritis akut adalah
peradangan glomerulus secara mendadak pada kedua ginjal akibat pengendapan
kompleks antigen antibodi di kapiler-kapiler glomerulus. Kompleks biasanya
terbentuk 7-10 hari setelah infeksi faring atau kulit oleh streptokokus (Arif
Muttaqin, 2011).
Glomerulonefritis
akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologic pada ginjal terhadap bakteri atau
virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman streptokokus. Penyakit
ini sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan lebih sering mengenai anak
pria dibandingkan dengan anak wanita (Ngastiyah, 1997: hal.294).
Glomerulonefritis
adalah peradangan dari membran kapiler glomerulus. Glomerulonefritis akut
dapat dihasilkan dari penyakit sistemik atau penyakit glomerulus
primer, tapi glomerulonefritis akut post streptococcus (juga diketahui sebagai
glomerulonefritis proliferatif akut) adalah bentuk keadaan yang sebagian besar
terjadi. Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit dengan streptococcus beta
hemolitik A adalah yang biasa memulai terjadinya keadaan yang tidak teratur
ini. Stafilococcus atau
infeksi virus seperti hepatitis B, gondok, atau varicela (chickenpox) dapat
berperan penting untuk glomerulonefritis akut pasca infeksi yang
serupa (Porth, 2005).
b. Etiologi
Faktor
penyebab yang mendasari sindrom ini dapat dibagi menjadi kelompok infeksi dan
noninfeksi:
1.
Infeksi
Infeksi
streptokokus terjadi sekotar 5-6% pada orang dengan radang tenggorokan dan 25%
pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus meliputi bakteri,
virus, dan parasit.
2.
Noninfeksi
Penyakit
sistemik multisistem seperti pada Lupu Eritematosus Sistemik (SLE), Vaskulitis,
sindrom Goodpasture, granulomatosis Wegener.
(Arif
Muttaqin, 2011).
Menurut
Ngastiyah (1997),
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12,
4, 16, 25, dan 29.
Hubungan antara glomerulonefritis akut dan infeksi streptococcus dikemukakan
pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan alasan bahwa:
1)
Timbulnya glomerulonefritis akut
setelah infeksi skarlatina
2)
Diisolasinya kuman streptococcus
beta hemoliticus golongan A
3)
Meningkatnya titer anti-
streptolisin pada serum pasien.
Antara infeksi
bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa laten selama kurang
10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25 lebih bersifat
nefritogen daripada yang lain. Mungkin factor iklim atau alergi yang mempengaruhi
terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman streptococcus. GNA juga disebabkan karena sifilis, keracunan, (timah hitam tridion),
penyakit amiloid, trombosis vena renalis, purpura, anafilaktoid, dan lupus
eritematosis.
Menurut
penyelidikan klinik-imunologis dan percobaan pada binatang menunjukkan adanya
kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa penyelidik menunjukkan
hipotensi sebagai berikut :
1)
Terbentuknya kompleks antigen-antibodi
yang melekat pada membran basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2)
Proses autoimun kuman
streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang
merusak glomerulus
3)
Streptococcus nefritogen dan membran
basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat
anti yang langsung merusak membran basalis ginjal.
Ada beberapa
penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan
karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1) Bakteri : Streptokokus
grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus,
Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae,
Staphylococcus
albus, Salmonella typhi dll
2)
Virus : Hepatitis B,
varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dll.
3) Parasit :
Malaria dan toksoplasma
c. Tanda dan Gejala
Penderita
biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit punggung, dan
udema (bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak), mual dan
muntah-muntah. Sulit buang air kecil dan air seni menjadi keruh.(Admin Glomerulonephritis
Akut (GNA), 2007,www.gooogle.com, diambil pada
tanggal 13 Maret 2010).
d. Manifestasi Klinis
Menurut Nursalam manifestasi klinis penyakit
glomerulonefritis sebagai berikut :
1) Penyakit ringan
umumnya ditemukan saat dilakukan urinalisis secara rutin.
2) Riwayat infeksi
: faringitis oleh streptokokus kelompok A, Virus hepatitis B, dan Endokarditis
3) Proteinuria,
Hematuria, dan Oliguria
4) Wajah
seperti bulan dan edema pada ekstremitas
5) Lemah dan
anoreksia
6) Hipertensi
(ringan, sedang, atau berat)
7) Anemia
akibat kehilangan sel darah ke dalam urine
8) Dari
hasil study klinik kejadian glomerulonefritis akut dapat sembuh sampai 90%,
dengan fugsi ginjal normal dalam 60 hari :
a.
Diuresis
biasanya mulai satu-dua minggu sesudah serangan
b.
Renal
clearence dan konsentrasi urea darah kembali normal
c. Edema dan
Hipertensi berkuran
d. Pada pemeriksaan mikroskop proteinuria dan hematuria
masih ada selama beberapa bulan.
e. Patofisiologi
Menurut smeltzer
(2001, hal.1438) patofisiologi dari glomeulonefritis akut sebagai berikut:
1. Proliferasi Seluler
Peningkatan sel
endotelia yang melapisi glomerulus, Infiltrasi leukosit ke glomerulus, dan
penebalan membran filtrasi glomerulus atau membran basal menghasilkan jaringan
parut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada glomerulonefritis akut, ginjal
membesar, bengkak, dan kongesti. Seluruh jaringan renal-glomerulus, tubulus dan
pembuluh darah-dipengaruhi dalam berbagai tingkat tanpa memperhatikan tipe
glomerulonefritis akut yang ada. Pada banyak pasien, antigen diluar tubuh
(misalnya medikasi, serum asing) mengawali proses, menyebabkan pengendapan
kompleks di glomerulus. Pada pasien yang lain, jaringan ginjal sendiri berlaku
sebagai antigen penyerang. Elektron-mikroskopis dan analisis imunogluoresen
mekanisme imun membantu identifikasi asal lesi. Biopsi ginjal diperlukan untuk
membedakan berbagai jenis glomerulonefritis akut.
2. Proliferasi Leukosit
adanya neutrofil dan monosit dalam
lumen kapiler dan sering menyertai proliferasi seluler.
3. Penebalan membran basal
glomelurus muncul
sebagai penebalan dinding kapiler baik
di sisi endotel atau epitel membran dasar.
4. Hialinisasi atau sklerosis menunjukkan cedera irreversible.
f.
Penatalaksanaan
Menurut
Nursalam:
1) Penatalaksanaan
gejala dan antihipertensi, obat untuk penatalaksanaan hiperkalemia (berhubungan dengan
insufisiensi renal), H2Blocker (untuk mencegah ulcer stres), dan agen pengikat fosfat
(untuk mengurangi fosfat dan menambah kalsium)
2) Terapi
antibiotik untuk menyembuhkan infeksi (jika masih ada)
3) Pembatasan
cairan
4) Diet ketat
pembatasan protein jika terdapat oliguria dan BUN meningkat. Pembatasan
perlu diperketat jika mengarah ke gagal ginjal
5) Tingkatkan
karbohidrat untuk membantu tenaga dan mengurangi katabolisme protein.
6) Asupan potasium
dan sodium diperketat jika terdapat edema, hiperkalemia, atau tanda gagal
jantung (CHF)
7) Terapi
untuk mempercepat progresif glomerulonefritis meliputi :
a. Penggantian
plasma
b.
Pemberian
Imunosupressan (corticosterois;cyclopfosphamid (Cytoxan)
g. Komplikasi
Menurut
Nursalam (2008) :
1) Hipertensi,
congestive heart failure (CHF),
2) Ketidakseimbangan
cairan dan
elektrolit pada fase akut
3) Malnutrisi
4) Hipertensi Encephalopati
h. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Ngastiyah (1997: hal.297)
pemeriksaan diagnostik untuk glomerulonefritis akut yaitu laju endap darah
meninggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).
Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis
meninggi. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50 % pasien.
Ditemukan pula albumin (+), eritrosit (+), Leukosit (+), silinder leukosit,
eritrosit dan hialin. Albumin serum sedikit menurun, demikian juga lomplemen
serum (globulin beta-IC), ureum dan kreatinin meningkat. Titer antistreptolisin
umumnya meningkat, kecuali kalau infeksi infeksi streptococcus yang mendahului hanya
mengenai kulit saja. Uji fungsi ginjal normal pada 50% pasien.
Pemeriksaan
yang lebih penting dan mendesak adalah urinalisis untuk mengetahui
proteinuria, hematuria dan debri-debri jaringan. BUN dan kreatinin serum
diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal. Pemeriksaan imunologi seperti titer
antigen antibodi dan immunoelectrophoresis dilaksanakan.
2.
Glomerulonefritis Kronis
a. Definisi
Glomerulonefritis
Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa penyakit, dimana
terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama
bertahun-tahun.Glomerulonefritis kronik adalah kategori
heterogen dari penyakit dengan berbagai kasus. Semua bentuk gambaran
sebelumya dari glomerulonefritis dapat meningkat menjadi keadan kronik. Kadang-
kadang glomerulonefritis pertama dilihat sebagai sebuah proses kronik. (Lucman
and sorensens, 1993: hal. 1496).
Pasien dengan penyakit ginjal
(glomerulonefritis) yang dalam pemeriksaan urinnya masih selalu terdapat
hematuria dan proteinuria dikatakan menderita glomerulonefritis kronik. Hal ini terjadi karena eksaserbasi
berulang dari glomerulonefritis akut yang berlangsung dalam beberapa waktu
beberapa bulan/tahun, karena setiap eksaserbasi akan menimbulkan kerusakan pada
ginjal yang berkibat gagal ginjal (Ngastiyah, 1997).
b. Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui. Pada 50% penderita ditemukan
glomerulopati sebagai penyebabnya, meskipun tidak pernah timbul
gejala-gejalanya.
c. Tanda dan Gejala
Menurut Price
dan Wilson (1995, hal. 831) Glomerulonefritis kronik (GNK) ditandai oleh kerusakan
glomerulus secara progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah
berlangsung lama. Umumnya GMK tidak mempunyai hubungan dengan GNAPS
(Glomerulonefritis akut pasca streptokok) maupun GNPC (Glomerulonefritis progresif
cepat), tetapi kelihatannya merupakan penyakit denova. Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal
usulnya, dan biasanya baru ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, ketika
gejala-gejala insufisiensi ginjal timbul. Menurut stadium penyakit, mungkin
akan timbul poliuria atau oliguria, berbagai derajat proteinuria,
hipertensi, ozotemia progresif dan kematian akibat uremia. Pada GNK yang lanjut
maka ginjal tampak mengkerut, kadang-kadang beratnya hanya tinggal 50 gram saja
dan permukaannya bergranula. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena
berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan hilangnya nefron. Dilihat dengan
mikroskop maka tampak sebagian besar glomerulus mengalami perubahan. Mungkin
terdapat campuran antara perubahan-perubahan membranosa dan proliferatif dan
pembentukan epitel berbentuk sabit. Akhirnya tubulus mengalami atropi, Fibrosis
interstisialis dan penebalan dinding arteria. Kalau semua organ strukturnya
telah mengalami kerusakan hebat, maka organ ini disebut ginjal stadium akhir, dan
mungkin sulit menentukan apakah lesi asalnya terjadi pada glomerulus,
interstisial, dan disebabkan oleh pielonefritis kronik, atau vaskuler.
Glomerulonefritis
kronik awitannya mungkin seperti glomerulonefritis akut atau tampak sebagai
tipe reaksi antigen-antibody yang lebih ringan, kadang-kadang sangat ringan
sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal
sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal, dan terdiri dari
jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjadi lapisan yang tebalnya 1-2
mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks, menyebabkan
permukaan ginjal kasar dan irreguler. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah
menjadi jaringan parut, dan cabang-cabang arteri renal menebal. Akhirnya terjadi
kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir
(ESRD). (Smeltzer,2001, hlm.1440).
d. Patofisiologi
Glomerulonefritis
kronik awitannya mungkin seperti glomerulonefritis akut atau tampak sebagai
tipe reaksi antigen-antibody yang lebih ringan, kadang-kadang sangat ringan
sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal
sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari
jaringan fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjasi lapisan yang tebalnya 1
sampai 2 mm atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks,
menyebabkan permukaan ginjal kasar dan irreguler. Sejumlah glomeruli
dan tubulusnya berubah menjadi jaringan parut, dan cabang-cabang arteri renal
menebal. Akhirnya terjadi kerusakan glomerulus yang parah, menghasilkan
penyakit ginjal tahap akhir (ESRG) (Smeltzer,
2001: hlm.1440).
e.
Manifestasi Klinis
Smeltzer (2001,
hlm.1440) Gejala Glomerulonefritis kronik bervariasi. Banyak pasien dengan
penyakit yang telah parah memperlihatkan kondisi tanpa gejala sama sekali untuk
beberapa tahun. Kondisi mereka secara insidental dijumpai ketika terjadi
hipertensi atau peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum. Diagnosis dapat
ditegakkan ketika perubahan vaskuler atau perdarahan retina ditemukan
selama pemeriksaan mata. Indikasi pertama penyakit dapat berupa perdarahan
hidung, stroke, atau kejang yng terjadi secara mendadak. Beberapa pasien
hanya memberitahu bahwa tungkai mereka sedikit bengkak dimalam hari.
Mayoritas pasien pasien juga mengalami gejala umum seperti kehilangan berat
dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan peningkatan berkemih dimalam
hari (nokuria), sakit kepala, pusing, dan gangguan pencernaan umumnya terjadi.
Seiring dengan
berkembangnya glomerulonefritis kronik, tanda dan gejala insufisiensi renal dan
gagal ginjal kronik dapat terjadi. Pasien tampak
sangat kurus, pigmen kulit tampak kuning keabu-abuan dan terjadi edema perifer
(dependen) dan periorbital. Tekanan darah mungkin normal atau naik dengan
tajam. Temuan pada retina mencakup hemoragi, adanya eksudat, arteriol menyempit
dan berliku-liku, serta papiledema. Membran mukosa
pucat karena anemia. Pangkal vena mengalami distensi akibat cairan yang
berlebihan. Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal jantung kongestif lain
dapat terjadi. Bunyi krekel dapat didengar di paru.
Neuropati
perifer disertai hilangnya reflek tendon dan perubahan neurosensori muncul
setelah penyakit terjadi. Pasien mengalami konfusi dan memperlihatkan rentang
penyakit yang menyempit. Temuan lain mencakup perikarditis disertai friksi
perikardial dan pulsus paradoksus (perbedaan tekanan darah lebih dari 10 mmHg selama
inspirasi dan ekspirasi).
f. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut
Smeltzer
(2001,hal.1440)
Sejumlah nilai laboratorium abnormal muncul. Urinalisis menunjukkan
gravitasi spesifik mendekati 1.010, berbagai proteinuria, dan endapan urinarius
(butir-butir protein yang disekresi oleh tubulus ginjal yang rusak). Ketika
gagal ginjal terjadi dan filtrasi glomerulus menurun di bawah 50 ml/menit,
perubahan berikut dapat dijumpai :
1. Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi, masukan
dari makanan dan medikasi, asidosis, dan katabolisme.
2. Asidosis metabolik akibat sekresi asam oleh ginjal dan
ketidakmampuan untuk regenerasi bikarbonat.
3. Anemia akibat penurunan eritropoesis (produksi sel darah
merah)
4. Hipoalbuminemia disertai edema akibat kehilangan protein melalui
membran glomerulus yang rusak.
5. Serum fosfot meningkat akibat penurunan ekskresi renal
6. Serum kalsium meningkat (kalsium terikat pada fosfot
untuk mengkompensasi peningkatan kadar serum fosfor)
7. Hipermagnesemia akibat penurunan ekskresi dan ingesti
antasid yang mengandung magnesium
8. Kerusakan antara syaraf akibat abnormalitas elektrolit
dan uremia.
Pemeriksaan
sinar X pada dada menunjukkan pembesaran jantung dan edema pulmoner.
Elektrokardiogram mungkin normal namun dapat juga menunjukkan adanya hipertensi
disertai hipertropi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit, seperti
hiperkalemia dan puncak gelombang T yang tinggi.
g. Penatalaksanaan
Gejala yang
muncul pada pasien glomerulonefritis kronis akan menjadi pedoman perawatan
rawat jalan. Jika terjadi hipertensi, tekanan darah diturunkan dengan natrium
dan pembatasan cairan. Protein dengan nilai biologis yang
tinggi (produk susu, telur dan daging) diberikan untuk mendukung status nutrisi
yang baik pada pasien. Kalori yang adekuat juga penting untuk menyediakan
protein bagi pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Infeksi traktus urinarius
harus ditangani dengan tepat untuk mencegah kerusakan renal lebih lanjut.
Jika edema
berat terjadi, pasien harus tirah baring. Kepala tempat tidur dinaikkan untuk
kenyamanan dan diuresis. Berat badan harian dipantau, dan diuretik digunakan
untuk mengurangi kelebihan cairan. Masukan natrium dan cairan disesuaikan
dengan kemampuan ginjal pasien untuk mengekskresi air dan natrium.
Dimulainya
dialisis dipertimbangkan diawal terapi untuk menjaga agar kondisi fisik paien
tetap optimal, mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan mengurangi
resiko komplikasi gagal ginjal. Rangkaian penanganan dialisis sebelum pasien
menunjukkan komplikasi signifikan adalah lambat.
Menurut Lukman
and Sorensen’s (1993, page.1492) obat yang biasa dipakai seperti rifampin,
penicillin, sulfonamid, cepalospirin, allopurinol, captopril, cimetidine,
azathioprine, phenytoin, thiazin, lithium,, nonstreroid anti agen
inflamasi dan furosemide bila memungkinkan.
Asuhan Keperawatan pada klien dengan Glomerulonefritis
Akut dan Kronis)
1. Pengkajian
Menurut Nursalam (2008) :
a. Kaji riwayat
kesehatan ; pusatkan pada infeksi yang terakhir atau gangguan gejala imunologis
kronis (sistemic lupus erythematosus dan skleroderma)
b. Kaji
spesimen urine untuk mengetahui adanya darah, protein, warna dan jumlah.
c. Lakukan
pemeriksaan fisik, khususnya amati tanda edema, hipertensi, hipervolemia,
(pembesaran vena leher dan peningkatan tekanan vena jugularis), pengembangan
bunyi paru, dan kardiak aritmia.
d. Evaluasi
status jantung dan laboratorium serum untu ketidakseimbangan elektrolit.
Pada pasien
glomerulonefritis akut sangat dianjurkan untuk melakukan pengukuran berat dan
tinggi badan, tekanan darah, adanya sembab atau asites. Melakukan pemeriksaan
kemungkinan adanya penyakit sistemik yang berhubungan dengan kelainan ginjal
seperti atritis, ruam kulit, gangguan kardiovaskular, paru dan system syaraf
pusat. Selama fase akut terdapat vasokonstriksi arteriola glomerulus yang
mengakibatkan tekanan filtrasi menjadi kurang dan karena hal ini kecepatan
filtrasi glomerulus juga berkurang. Filtrasi air, garam, ureum dan zat-zat
lainnya berkurang dan sebagai akibatnya kadar ureum dan kreatinin dalam darah
meningkat. Fungsi tubulus relative kurang terganggu, ion natrium dan air
diresorbsi kembali sehingga diuresis berkurang (timbul oliguria dan anuria) dan
ekskresi natrium juga berkurang. Ureum diresorbsi kembali lebih dari pada
biasanya, sehingga terjadi insufiensi ginjal akut dengan uremia,
hiperfosfatemia, hidrema dan asidosis metabolik.
2. Diagnosa
Keperawatan
a. Nyeri kronis
yang berhubuingan dengan peradangan dan trauma jaringan
b. Perubahan volume cairan : kelebihan
berhubungan dengan kerusakan
kapiler glomerulus sekunder terhadap proses inflamasi.
c. Intoleransi aktivitas b.d perubahan produksi SDM sekunder terhadap
kerusakan ginjal dan
masukan nutrisi tak adekuat.
d.
Perubahan nutrisi, kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor: anoreksia
dan kehilangan protein sekunder terhadap kerusakan glomerulus.
3. Intervensi
a. Nyeri
Kronis b.d peradangan dan trauma jaringan
Intervensi :
1) Catat keluhan
nyeri, termasuk lokasi lamanya, intensitas (skala 0-10)
Rasional : Nyeri tidak
selalu ada tetapi bila ada harus dibandingkan dengan gejala nyeri pasien
sebelumnya dimana dapat membantu mendiagnosa etiologi terjadinya komplikasi.
2) Kaji ulang
faktor yang meningkatkan atau menurunkan nyeri
Rasional : Membantu dalam membuat diagnosa dan kebutuhan terapi.
3) Catat petunjuk nyeri nonverbal, contoh gelisah, menolak,
bergerak, berhati-hati dengan abdomen, takikardi, berkeringat. Selidiki
ketidaksesuaian antara petunjuk verbal dan non-verbal
Rasional : Petunjuk non-verbal dalam berupa fisiologis dan
psikologis dan dapat digunakan dalam menghubungkan petunjuk verbal untuk
mengidentifikasi luas/beratnya masalah
b Perubahan volume cairan :
kelebihan b.d faktor ; kerusakan kapiler glomerulus sekunder terhadap proses
inflamasi
Intervensi :
1) Pantau :
· Kecendrungan berat jenis urin dan proteinuria
· Masukan dan pengeluaran setiap 2-4 jam
· Hasil laporan laboratorium serum:
elektrolit, BUM, kreatinin, albumin
· Status umum ( apendiks F) setiap 8 jam
· timbang berat badan setiap hari ( timbangan,
waktu, dan jumlah pakaian sama )
Rasional : Untuk
mengidentifikasi kemajuan ke arah atau penyimpanan dari hasil yang diharapkan.
2) Berikan diuretik loop yang di
programkan dan evaluasi efektivitasnya : resolus edema, bunyi paru bersih,
penurunan tekanan, peningkatan haluaran urine, dan penurunan berat badan,
natrium serum dalam batas normal.
Rasional : Hipertensi pada glomerulonefritis akut lebih tergantung
pada volume daripada renin. Diuretik mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
Hiponatremia, hipokalemia dan aidosis metabolik hipokoremik dapat terjadi
dengan terapi diuretik agresif.
3) Beritahu dokter tentang temuan yang
menandakan berkembangnya insufisiensi ginjal yang meliputi peningkatan BUN dan
kreatinin serum, dan penurunan secara kontinue haluaran urine disertai dengan
perubahan mental. Berikan obat yang diresepkan (agen sitotoksik seperti cytoxan
atau kortikosteroid seperti prednison) untuk mencegah kerusakan glomerulus
lanjut bila perkembangan glomerulonefritis berjalan cepat evaluasi
efektivitasnya. Jadwalkan obat untuk mencapai efektivitas terapeutik maksimum
dan hindari interaksi merugikan antara obat dengan obat. Konsul pada
referensi farmakologi atau farmasis bila diperlukan
Rasional: Tindakan awal untuk progresi glomerulonefritis adalah
agen imunosupresif. Tindakan segera diperlukan untuk mencegah penyakit ginjal
tahap akhir. Agen Cytotoxic menghambat deposisi kompleks imun di glomerulus,
sedangkan kortikosteroid mengurangi inflamasi pada glomerulus.
4) Konsul dokter bila manifestasi kelebihan cairan
menetap atau memburuk terhadap tindakan. Siapkan untuk hemodialisa atau dialisa
peritoneal bila diepesankan.
Rasional: Tindakan awal untuk progresi glomerulonefritis adalah
agen imunosupresif. Tindakan segera diperlukan untuk mencegah penyakit ginjal
tahap akhir. Agen Cytotoxic menghambat deposisi kompleks imun di glomerulus,
sedangkan kortikosteroid mengurangi inflamasi pada glomerulus. Dilalisa
mungkin sementara diperlukan untuk mengeluarkan produk sisa nitrogen dan
kelebuhan cairan sampai fungsi diperbaiki.
c. Perubahan nutrisi, kurang dari
kebutuhan tubuh b.d faktor: anoreksia dan kehilangan protein sekunder terhadap
kerusakan glomerulus.
Intervensi :
1) Pantau :
· Hasil albumin, protein, hemoglobin, hematokrit,
BUMN, dan kreatinin serum
· Persentase makanan yang dikonsumsi ada sekali
makan
· Timbang berat bdan setiap minggu
Rasional: Untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan ke arah atau
penyimpangan dari hasil yang diharapkan. Hemoglobin dan hemotokrit rendah
menyebabkan sedikit oksigen yang tersedia untuk digunakan oleh tubuh,
mengakibatkan kelelahan. Peningkatan BUM dan kreatinin serum menandakan
insufisiensi ginjal dan kebutuhan dialisa.
2) Berikan lingkungan yang nyaman, bebas bau pada
saat makan
Rasional : Nyeri dan bau menyebabkan anoreksia
3) Berikan makanan sedikit dan sering. Berikan
permen keras dan es batu bila pasien pada pembatasan cairan mengalami haus.
Alokasi waktu pemberian cairan sehingga pasien menerima sesuatu untuk diminum
saat interval reguler dan pada saat makan dan minum obat.
Rasional: Makanan sedikit-sedikit kemutngkinan menyebabkan distensi
gaster, sehingga menurunkan mual. Batu es dan cairan melumasi mulut dan
mencegah mukosa oral kering. Permen juga memantu memperbaiki rasa pada mulut
d. Intoleransi aktivitas b.d perubahan
produksi SDM sekunder terhadap kerusakan gunjal dan masukan nutrisi tak adekuat
Intervensi :
1) Pantau :
·
Frekuensi nadi
dan pernapasan sebelum dan sesudah aktivitas
· Hasil laporan JDL
Rasional: Untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan ke arah atau penyimpangan
dari hasil yang diharapkan. Anemia ditunjukkan oleh hemoglobin rendah,
menimbulkan kelelahan. Sehingga jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan
berkurang karena jumlah SDM yang membawa oksigen lebih sedikit.
2) Berikan periode istirahat. Hindari gangguan. Batasi
pengunjung bila diindikasikan
Rasional: Periode kerja singkat dengan periode istirahat menghemat
konsumsi oksigen.
3) Mungkinkan aktivitas untuk
ditoleransi. Bantu dalam AKS sesuai kebutuhan. Hentikan aktivitas bila pasien
mengeluh lelah, frekuensi pernapasan lebih dari 24 X/menit dan frekuensi nadi
lebih dari 100x/ menit dengan
kerja minimal
Rasional: Temuan ini menunjukkan intoleransi terhadap tingkat
aktivitas.
3. Glomerulonefritis Progresif Cepat
a. Definisi
Glomerulonefritis progresif
cepat adalah peradangan glomerulus yang terjadi sedemikian cepat sehingga
terjadi penurunan GFR 50% dalam tiga bulan setelah awitan penyakit.
b. Etiologi
Glomerulonefritis progresif cepat dapat
terjadi akibat perburukan glomerulonefritis akut, suatu penyakit autoimun, atau
tanpa diketahui sebebabnya (idiopatik).
c. Patofisiologi
Glomerulonefritis progresif cepat
berkaitan dengan proliferasi difus sel-sel glomerulus didalam ruang Bowman.
Kecepatan filtrasi glomerulus menurun sehingga terjadi gagal ginjal. Sindrom
Goodpasture adalah suatu jenis glomerulonefritis progresif cepat yang
disebabkan oleh terbentuknya antibody yang melawan sel-sel glomerulus itu
sendiri, sehingga beberapa minggu atau bulan sering timbul gagal ginjal. Awitan
penyakit sering tidak jelas atau bisa juga akut, disertai pedarahan paru-paru
dan hemoptisis. Gambaran linier dan imunofluoresensi menimbulkan dugaan bahwa
patogenesisnya adalah suatu mekanisme nefrotoksik imun. Endapan imunoglobulin
juga ditemukan disepanjang membran basalis alveolus paru-paru. Klien dapat
dipertahankan hidup dengan homodialisis, tetapi dapat juga meninggal akibat
perdarahan paru-paru.
d. Pengkajian
Pada pengkajian biasanya keluhan
berhubungan dengan kondisi vaskulitis Anca (antineutrophil cyitoplasmic
antibodies) seperti flu ditandai dengan malaise, demam, arthralgias, mialgia,
anoreksia kehilangan, dan berat. Setelah kondisi tersebut, keluhan yang paling
umum adalah sakit perut, gangguan kulit dengan adanya nodul atau ulserasi.
Ketika terdapat keterlibatan saluran pernafasan atas, pasien mengeluh gejala
sinisitis, batuk, dan hemoptisis.
e. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum pasien berfariasi sejauh mana dari
pengaruh kerusakan dari glomerulus. Secara umum didapatkan lemah dan terlihat
sakit berat dengan tingkat kesadaran compos mentis, tetapi akan berubah apabila
sistem saraf pusat mengalami gangguan sekunder dari penurunan perfusi jaringan
otak dan kerusakan hantaran saraf sekunder dari obnormalitas elektrolit dan
uremia. Pada TTV sering didapatkan adanya perubahan; pada fase awal sering
didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami peningkatan,
frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan suhu tubuh dan denyut nadi.
Tekanan darah terjadi perubahan dari hipertensi ringan sampai berat.
BI
(Breathing)
Manifestasi
infiltrat fokal yang terjadi yaitu capillaritis hemorrhagic alveolar yang
mengakibatkan perubahan paru dan hemoptisis masif.
B2
(blood)
Pada
sistem kardoivaskuler sering didapatkan adanya hipertensi kardiomegali, irama
galop, dan tanda gagal jantug kongesti lain dapat terjadi.
B3
(Brain)
Neuropati
perifer disertai hilangnya reflek tendo dan perubahan neurosensori muncul
setelah penyakit terjadi pasien beresiko kejang, respons sekunder gangguan
elektrolit kondisi yang lebih parah adalah kondisi yang kejang umum sebagai
manifestasi dari keterlibatan pembuluh mengineal terhadap gangguan saraf pusat.
B4
(bladder)
Biasanya
akan didapatkan tanda dan gejala insufisiensi renal dan gagal ginjal kronik.
Penurunan urine sampai anuri. Perubahan warna urin seperti warna urin berwarna
kola dari proteinuri, silinderuli, dan hematuri.
B5
(Bowl)
didapatkan
adanya mual dan muntah, anoreksia dan diare sekunder dari hipersekresi asam
lambung. Arteritis mengakibatkan ulkus iskemik pada saluran pencernaan
menyebabkan rasa sakit dan pedarahan sehingga sering terdapat penurunan intake
nutrisi dan kebutuhan.
B6
(Bone)
Biasanya
didapatkan adanya vaskulitis leukositoklastik dan mempengaruhi bagian bawah
kaki. Didapatkan adanya nyeri pada otot-otot rangka, nyeri sendi akibat
peradangan sendi, sakit kepala, kram otot, nyeri kaki, kulit gatal,
ada/berulangnya infeksi, pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), petekie, area
ekimosis pada kulit dan keterbatasan gerak sendi. Terdapat kelemahan fisik
secara umum sekunder dari animia dan penurunan perfusi perifer dari hipertensi.
f. Pengkajian Diagnostik
1. Laboratorium
- Anemia
biasanya didapatkan sekunder dari gagal ginjal atau pedarahan dari saluran
pencernaan dan pernafasan .
- Perubahan
nilai pemeriksaan elektrolit serum, BUN, kreatinin, laktat dehidrogenase (LDH),
phosphokinase creatine (CPK), dan test fungsi hati.
- C-reaktif
protein meningkat.
- LED
meningkat
2.
Radiodiagnostik
- USG
ginjal harus dilakukan untuk menyingkirkan uropati obstruktif dalam pasien
dengan gagal ginjal akut.
- Pada
pasien dengan glomerulonefritis progresif cepat, USG ginjal dilakukan untuk
menilai fungsi kedua ginjal sebelun bioksi ginjal perkutan.
g.
Pengkajian penatalaksanaan medis
- Terapi
kombinasi kortikosteroid dan siklofosfamid
- Dsialisis
- Protokol
lain seperti subtitusi azathioprine untuk siklofosfamid setelah periode 3bulan
diberikan sebesar 2 mg/kg secara oral dalam dosis tunggal harian selama 6-12
bulan
- Methotrexate
menggantikan siklofosfamid untuk penyakit ringan dan digunakan untuk perawatan
setelah terapi induksi awal
- Plasmapheresis
menjadi tambahan terapi bagi pasien dengan gagal ginjal berat (serum kreatinin
>6 mg/ dL)
g. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko
tinggi jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekret dan darah dijalan nafas
2. Resiko
kelebihan volume cairan b.d penurunan volume urine, retensi cairan dan natrium,
peningkatan aldosteron efek sekunder dari penurunan GFR
3. Nyeri
b.d respon peradangan sendi, peradangan otot rangka, sekunder dari peradangan
arteri periver
4. Ketidak
seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake nutrisi yang tidak
adekuat efek sekunder dari anoreksia, mual, muntah
1. Resiko
tinggi jalan nafas tidak efektif b.d akumulasi sekret dan darah dijalan nafas
Tujuan: kebersihan jalan nafas kembali efektif
Kriteria Hasil:
Klien mampu melakukan batuk efektif
Pernafasan klien normal (16-20kali per menit) tanpa ada
penggunaan cuping hidung.
Intervensi:
a. Kaji fungsi pernafasan
R/
mengetahui bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu.
b. Bantu nafas dalam dan batuk efektif
R/ membantu klien mengeluarkan sputum.
c. Berikan posisi semi fowler pada pasien
R/ posisi semi fowler memaksimalkan
ekspansi paru dan menurunkan upaya bernafas.
d. Kolaborasi pemberian obat kortikosteroid
R/
kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipoksemia dan bisa reaksi
gancam kehidupan.
3. Nyeri b.d respon
peradangan sendi, peradangan otot rangka, sekunder dari peradangan arteri
periver
Tujuan: nyeri berkurang atau hilang
kriteria hasil:
Nyeri berkurang skala nyeri 0-4
Ekspresi pasien rileks
Intervensi:
a. Bantu pasien dengan teknik distraksi dan relaksasi
pada pasien
R/ mengurangi nyeri.
b. Istirahatkan pasien
R/ istirahat akan menurunkan kebutuhan
oksigen jaringan perifer sehingga akan meningkatkan suplai darah ke jaringan.
c. Lakukan massase sekitar nyeri
R/
meningkatkan kelancaran suplai darah untuk menurunkan iskemia.
d. Kolaborasi dengan dokter, pemberian analgetik
R/ analgetik memblock lintasan nyeri sehingga
berkurang.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Glomerulonefritis adalah peradangan dari membran kapiler
glomerulus. Glomerulonefritis akut dapat dihasilkan dari penyakit
sistemik atau penyakit glomerulus primer, tapi glomerulonefritis akut post
streptococcus (juga diketahui sebagai glomerulonefritis proliferatif akut)
adalah bentuk keadaan yang sebagian besar terjadi. Infeksi dapat berasal dari
faring atau kulit dengan streptococcus beta hemolitik A sedangkan
glomerulonefritis kronik adalah kategori heterogen dari penyakit
dengan berbagai kasus. Semua bentuk gambaran sebelumya dari glomerulonefritis
dapat meningkat menjadi keadan kronik.